BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jakarta sebagai Ibukota negara sangat cepat perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun,ini tentu menimbulkan berbagai masalah yang harus diatasi terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Air disamping udara, tanah dan ruang merupakan unsur-unsur utama dalam lingkungan hidup. Penggunaan dan kualitas ini akan berpengaruh besar pada kualitas lingkungan. Di pihak lain unsur utama lingkungan ini juga penting bagi kelangsungan hidup rakyat umum.
Air adalah salah satu diantara kebutuhan hidup yang penting. Air termasuk dalam sumber alam yang dapat diperbaharui, karena secara terus menerus dipulihkan melalui siklus hidraulis yagn berlangsung menurut kodrat. Namun, air adalah sumber alam yang lain dari yang lain dalam artian bahwa, jumlah keseluruhan air yang bisa didapat di seluruh dunia adalah tetap. Persediaan totalnya tidak dapat ditingkatkan atau dikurangi melalui upaya-upaya pengelolaan untuk mengubahnya. Persediaan total dapat diatur secara lokal dengan dibuatnya bendungan atau sarana-sarana lainnya.
Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 10 juta kebutuhan air mereka diperoleh dari air sumur dangkal, air sumur bor, dan dari PAM. Di Jakarta, PAM JAYA merupakan suatu perusahaan daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi yang mengemban tugas, penyediaan dan pendistribusian maupun pelayanan air bersih bagi masyrakat yang memenuhi persyaratan berdasarkan prinsip ekonomi perusahaan. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dalam kaitan ini mengemban misi untuk memberikan pelayanan yagn maksimal pada warganya dengan tidak melupakan lingkungan hidup yang lestari secara berkelanjutan. Kondisi yang diinginkan ini membutuhkan dukungan dan fasilitas pelayanan kota, khususnya pelayanan air bersih untuk melakukan berbagai perkembangan aktifitas-aktifitas tersebut serta untuk memenuhi masyarakat Jakarta.
Pada tahun 1997, cakupan PAM JAYA adalah sekitar 47% yang meliputi sekitar 460 ribu sambungan pelanggan, sementara total air terjual mencapai 201 juta m3. Di tahun 2002, cakupan pelayaanan telah meningkat menjadi 50% dengan jumlah konsumen sekitar 610 ribu, yang 80% diantaranya merupakan sambungan rumah tangga.
Disamping dari PAM JAYA, kebutuhan air warga Jakarta, diambil dari air tanah dangkal dan sumur bor. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pengambilan air tanah di DKI Jakarta mulai terlihat gejala-gejala terganggunya air tanah di DKI Jakarta, yaitu hal-hal sebagai berikut :
a) Meningkatnya areal terbangun (building coverage) diduga telah mengganggu atau menurunkan potensi peresapan air kedalam tanah, khususnya air tanah dangkal.
b) Belum terkendalinya eksploitasi air tanah yang berlebihan untuk berbagai keperluan.
c) Telah terjadinya penurunan muka air tanah (water table) dan penyusupan (intrusi) air laut ke arah daratan.
d) Diduga telah terjadi amblasan tanah sebagai akibat menurunnya mua air tanah tersebut.
Menghadapi persoalan diatas, tentu perlu sistem pengelolaan dan pengaturan ari tanah yang baik, hal ini antara lain dapat dilakukan dengan pengendalian dan pengawasan yang intensif. Juga pelaksanaan peraturan yang maksimal. Disamping hal diatas juga diperlukan upaya-upaya penanggulangan dari dampak negatif tersebut.
B. Perumusan Masalah
Air adalah esensial untuk kehidupan. Kebutuhan air tidak saja menyangkut kuantitas melainkan juga kualitas. Jumlah air yang tersedia sangat berkaitan dengan iklim, terutama curah hujan. Air juga berkaitan dengan hutan, baik kuantitasnya maupun kualitasnya. Faktor penting lain yang mempunyai pengaruh besar pada kuantitas dan kualitas air yang tersedia adalah kegiatan manusia.
Kebutuhan air dapat diperoleh melalui air permukaan dan juga air sumur bor. Khusus mengenai air permukaan juga dapat yang tercemar baik oleh limbah industri maupun limbah rumah tangga.
Dengan tercemarnya air permukaan, orang akan mencari air yang berkualitas lebih baik, pilihannya adalah air bawah tanah. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengambilan air bawah tanah secara besar-besaran baik untuk industri, perhotelan, rumah tangga, pertanian dan keperluan-keperluan lainnya.
Dengan pesatnya pembangunan di berbagai tempat di Jakarta, mengakibatkan berkurangnya menyerapnya air ke dalam tanah. Ini mengakibatkan untuk jangka panjang menimbulkan kerusakan lingkungan karena ada kesenjangan antara air yang diambil dari tanah dan kemampuan tanah untuk menyerap air.
Dalam pengelolaan sumber alam yang utama adalah mencegah timbulnya pengaruh negatif terhadp lingkungan dan mengusahakan kelestarian alam agar bisa digunakan terus menerus untuk generasi dimasa depan.
Kebijaksanaan pengembangan lingkungan ini tertuju kepada empat sasaran, yaitu : pertama, membina hubungan keselarasan antara manusia dengan lingkungan. Ini adalah bagian dari tujuan pembangunan untuk membina manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki ciri-ciri keselarasan :
1. Antara manusia dengan masyarakat
2. antara manusia dengan lingkungna
3. antara manusia dengan Tuhan penciptanya.
Kedua, melestarikan sumber-sumber alam agar bisa dimanfaatkan terus-menerus oleh generasi demi generasi. Usaha membangun masyarakat adil dan makmur perlu waktu panjang dan karena itu pelestarian sumber-sumber alam sangat penting. Ketiga, mencegah kemerosotan mutu dan meningkatkan mutu lingkungan sehingga menaikkan kualitas hidup manusia Indonesia. Pembangunan industri, pertambangan, pertanian dan kegiatan sektoral lainnya perlu dilaksanakan melalui cara yang sekaligus mengindahkan mutu lingkungan. Keempat, membimbing manusia dari posisi “perusak lingkungan” menjadi “pembina lingkungan”. Sering-sering karena kurang informasi dan kurang pengetahuan, manusia merusak lingkungan. Karena manusia menjadi sasaran pembangunan, perlu diusahakan agar sekaligus menjadi manusia “pembina lingkungan”.
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, maka yang menjadi fokus masalah penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penerapan peraturan daerah DKI dalam hal pengeboran air tanah.
2. Bagaimana mengatasi dan menanggulangi dampak dari pengambilan air tanah.
3. Apakah usaha yang dilakukan pemerintah daerah DKI dalam hal pengendalian dan kawasan pengeboran air tanah.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan :
1. untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan penerapan peraturan daerah DKI Jakarta mengenai sumur bor.
2. untuk mengetahui dampak dari pengambilan air bawah tanah dan cara menanggulangi dampak tersebut.
3. untuk mengetahui apa yang dilakukan Pemda DKI Jakarta khususnya dalam hal pengendalian dan pengawasan pengambilan air bawah tanah, berkaitan dengan azas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian.
D. Tinjauan Pustaka
Ada asumsi yang mengatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
2. teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defisini-definisi;
3. teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti.
4. teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;
5. teori memberikan petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pengetahuan peneliti.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam makalah ini penulis akan mengemukakan teori-teori yang mempunyai hubungan dengan pengambilan air bawah tanah khususnya di DKI Jakarta. Teori-teori tersebut dapat berupa pendapat sarjana, peraturan hukum, mengenai pengambilan air bawah tanah. Dari data tersebut akan diketahui efektifitas peraturan yang telah dikeluarkan Pemda DKI Jakarta berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
1. Air Bawah Tanah
Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa, baik dibidang ekonomi, sosial maupun budaya (Sihwanto, dkk, 1988 : 12).
Undang-undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis dan merupakan sebagian dari hukum dasar negara Republik Indonesia. Dengan kata lain dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara semuanya harus bersumber dan sesuai dengan yang telah ditetapkan di dalam UUD 1945.
Sumber daya air termasuk sumber daya alam yang pengelolaannya jelas disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dn diperguanakn sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari bunyi ayat tersebut diatas jelas bahwa kekayaan alam bukan milik perseorangan atau sekelompok orang, tetapi milik Negara. Negara yang menguasai dan pengelolaannya harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat banyak dan bukan untuk perseorangan atau sekelompok orang (Esti Kurniasih, 1994 : 22)
Garis-garis Besar Haluan Negara pada hakekatnya adalah Pola Umum Pembangaunan Nasional yang merupakan rangkaian program-program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu yang berlangsung secara terus menerus yang merupakan perwujudan dari tujuan Nasional. Di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 juga telah ditetapkan tentang pemanfaatan sumber daya, khususnya penggunaan air secara lestari, selaras dan seimbang bagi kesejahteraan rakyat banyak untuk masa kini dan masa mendatang.
Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Bab I tentang Pengertian, Pasal 1 terdapat beberapa istilah yang perlu dikemukakan dalam rangka penataan lingkungan, yaitu :
(a) “Air” adalah sumber air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah; tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut;
(b) “Sumber-sumber air” adalah tempat-tempat dan wadah-wadah air, baik yang terdapat di atas, maupun di bawah permukaan tanah;
(c) “Pengairan” adalah suatu bidang pembinaan atas air, sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia;
(d) “Tata pengaturan air” adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan, pengusahaan dan pengawasan atas air besarta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan rakyat;
(e) “Tata pengairan” adalah susunan dan letak sumber-sumber air dan atau bangunan-bangunan pengaioran menurut ketentuan-ketentuan teknik pembinaannya di suatu wilayah pengairan tertentu;
(f) “Tata air” adalah susunan dan letak air seperti dimaksud dalam huruf (a) (Koesnadi Hardja S., 1999 : 190)
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf e disebutkan bahwa :
“Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah”.
Pengertian serupa tentang air bawaha tanah juga terdapat dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1945. K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1946. K/102/M.PE/1995 tabggak 26 Desember 1995 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 166 Tahun 1996 tanggal 26 September 1996.
Selanjutnya di dalam keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 04/KPTS/1991 dan Nomor 0076/101/MPE/1991 tanggal 19 Januari 1991, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 butir (b) menyebutkan :
“Air bawah tanah adalah semua sumber air yang berasal dari sumber-sumber air yang terdapat di bawah permukaan tanah”.
2. Pengambilan Air Bawah Tanah
Dalam pendayagunaan sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati, sangat mempengaruhi kondisi lingkungan bahkan dapat merombak sistem kehidupan yang sudah berimbang antara kehidupan itu sendiri dengan lingkungannya. Manusia dalam memanfaatkan submer daya alam ini harus memperhatiakna tujuannya dan pengaruh (dampak) yang akan ditimbulkan akiat pemakaian (P. Joko Subagyo, 1992 : 1).
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 4 menyatakan bahwa :
“Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yangmemiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadpa dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah lingkungan hidup”.
Apabila dampak yang ditimbulkan tidak diperhatikan akibatnya akan dirasakan oleh generasi berikutnya. Keseimbangan sumber daya alam akan sulit tercipta kembali dan akan memakan waktu yang cukup lama dengan biaya yang tidak sedikit.
Dengan latar belakang yang disadari bahwa sumber daya alam di dunia ini mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan, juga sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang bagi kesejahteraan rakyat banyak untuk masa kini dan mendatang. Tidak dijamahnya sumber daya yang ada, tidak menjamin pula keseimbangan ekosistemnya, pada dasarnya unsur-unsur sumber daya alam dan ekosistemnya saling tergantung dan saling mempengaruhi dengan kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem (P. Joko Subagyo, 1992 : 2).
Didalam pengelolaan lingkungan berazaskan pelestarian kemampuan agar hubungan manusia dengan lingkungannya selalu berada pada kondisi optimum, dalam arti manusia dapat memanfaatkan sumber daya dengan dilakukan secara terkendali dan lingkungannya mampu menciptakan sumbernya untuk dibudi dayakan (P. Joko Subagyo, 1992 : 3).
Sehubungan dengan hal itu cara kita menggunakan air ternyata sudah menciptakan krisis di banyak bagian dunia. Pengambilan air di seluruh dunia diyakini telah naik lebih dari 35 kali lipat selama tiga abad terakhir dan menurut taksiran akan naik lagi 30% hingga 35% pada tahun 2000. Pola penggunaan air tawar dewasa ini tidak dapat berkelanjutan apabila jumlah penduduk mencapai 10 milyar jiwa pada tahun 2050 nanti. Banyak negara sudah merasakan penderitaan yang serius akibat kekurangan air. Persaingan diantara pengguna air makin seru dan telah melampaui kemampuan lembaga-lembaga yang bertugas mengelolanya (Sukrisno, 1998 : 16).
Di dalam pengelolaan air sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Pasal 3 disebutkan bahwa :
“Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3,4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara”.
Berkaitan dengan hal tersebut selanjutnya di dalam Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 02.P/101/M.PE/1994 Bab I Pasal 1 butir g disebutkan bahwa :
“Pengambilan air bawah tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan cara membuat bangunan penurap lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan / atau tujuan lain”.
Pengelolaan air bawah tanah yang didasarkan pada konsep satuan wilayah cekungan air tanha, mulai dari daerah imbuh (recharge area) sampai ke daerah lepasnya (discharge area) yang tidak mengenal batas wilayah administrasi memerlukan kegiatan aksplorasi, rencana eksploitasi, pemantauan dan upaya konservasi yang didukung pengetahuan teknis dalam bidang pengelolaan air bawah tanah (DGTL, 2000 : 3).
Eksploitasi air bawah tanah melebihi daya dukung tatau potensinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan air bawah tanah dan lingkungan fisik sekitar. Pada beberapa kota besar di Pulau Jawa (DKI Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya) akibat eksploitasi air bawah tanah secara berlebihan untuk memenuhio kebutuhan air untuk keperluan industri, telah menyebabkan kerusakan lingkungan air bawah tanah pada kondisi rawan dan kritis. Telah terjadi penurunan muka air bawah tanah, kontaminasi air permukaan terhadap air bawah tanah, penurunan muka tanah, banjir serta interusi air laut ke daratan.
3. Peraturan Pengambilan Air Tanah
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sebenarnya kebijaksanaan pengelolaan (kewenangan untuk mengatur) sumber daya air tanah telah diserahkan kepada daerah jauh sebelum ada isu otonomi daerah atau UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintah Daerah. Peraturan Perundangan yang sangat terkait dan dijadikan dasar kebijaksanaan dalam pengelolaan air tanah adalah :
- UUD 1945
- GBHN 1999 – 2004
- UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, pasal 5 ayat (2) : pengurusan adminstratif atas air bawah tanah dan mata air panas sebagai mineral dan sumber tenaga di luar wewenang dan tanggung jawab Menteri yang disebut pada ayat (1) pasal ini (Menteri yang dimaksud adalah Pekerjaan Umum – pen).
- PP No. 2 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, pasal 6 ayat (2) : pengambilan air bawah tanah untuk penggunaan airnya pada batas kedalaman tertentu hanya dapat dilaksanakan dengan izin gubernur yang bersangkutan setelah mendapat petunjuk-petunjuk teknis Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini (Menteri yang dimaksud adalah Menteri Pertambagnan dan Energi – pen).
- PP No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
- UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
- UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Peratusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 03/P/M/Pertamben/83 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah.
- Keputusan Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral nomor 392.K/526/060000/85 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah.
- Peraturan Daerah DKI Jakarta nomor 2 Tahun 1994 tentang Pemboran dan Pemakaian Air Bawah Tanah di Wilayah DKI Jakarta.
- Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta nomor 42 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di DKI Jakarta.
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 tahun 1994 tentang pemboran dan pemakaian Air Bawah Tanah di wilayah DKI Jakarta mengatur ketentuan-ketentuan UKL (upaya pengelolaan lingkungan) dan UPL (upaya pemantauan lingkungan), AMDAL, agar eksploitasi sumber daya air tanah tidak menimbulkan kerusakan atau dampak negatif lingkungan.
Disamping itu penting diperhatikan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor. 02.P/101/M.PE/1994 tentang Prioritas Peruntukan Air Tanah.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematikan dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum tersebut. Selanjutnya mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Penelitian hukum dapat dilakukan melalui penelitian hukum normatif. Penelitian hukum yang normatif terdapat tiga tipe penelitian, yaitu penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif, penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif serta penelitian yang berupa usaha penemuan hukum inconcreto yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.
Untuk mendukung penulis makalah ini, penulis pergunakan metode penelitian sebagai berikut :
a. Metode Pendekatan
Metode pendekatan untuk menyusun makalah ini dilakukan dengan kegiatan penelitian hukum yang bersifat Yuridis Sosiologis. Maksudnya pembahas masalah-masalah seperti telah dirumuskan menekankanpada ilmu hukum disamping pula perlu dilengkapi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya.
b. Spesifikasi Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif analisa ini dilaksanakan dengan maksud untuk menjelaskan peraturan perundangan yang berlaku, praktek pelaksanaannya dihubungkan dengan teori-teori ilmu hukum. Analisa data terhadap masalah-masalah seperti telah dirumuskan dibahas. Dengan berpedoman pada langkah-langkah utama menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, maka semua permasalahan itu dapat terpecahkan. Masalah kebijakan pengendalian pengambilan air bawah tanah DKI Jakarta dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dikaji dari teori-teori yang ada, serta dikaitkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, serta analisa dengan didasarkan pada fakta dan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan.
c. Metode Penarikan Sampel
Dalam rangka usaha mencari kejelasan permasalahan yang dibahas, maka perlu kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data. Data-data itu dikumpulkan dan diteliti. Data-data ini didapat dari instansi yang terkait langsung yaitu Pemerintah Daerah DKI Jakarta (Bapedalda DKI, Dinas Teknis Pertambangan dan Energi, Biro Hukum DKI).
d. Metode Penelitian Data
Cara mendapatkan data untuk mewujudkan hasil penelitian, maka digunakan metode pengumpulan data yang berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara mempelajari dan memahami peraturan perundangan, literatur, karangan ilmiah, pendapat-pendapat sarjana dan bahan-bahan bacaan lain yang berhubungan dengan penelitian. Data primer digunakan sebagai pendukung data sekunder yang didapatkan. Data primer merupakan data yang diperoleh dari wawancara atau interview.
e. Metode Analisa Data
Setelah pengumpulan data secara lengkap berhasil dilakukan, maka data tersebut dipilih dan diteliti sesuai kebutuhan dengan memperhatikan relevansi permasalahan pokok dalam penelitian. Analisa data untuk mengadakan penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Penggunaan analisa kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan kesimpulan deduktif.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika Laporan Penelitian tentang “Penerapan Peraturan Tentang Pemboran dan Pemakaian Air Bawah Tanah di DKI Jakarta” sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sitematika penulisan.
BAB II : Identifikasi Masalah
Dalam Bab identifikasi masalah diuraikan tentang data dan fakta yang didapat dari buku perpustakaan, hasil penelitian di lapangan berkaitan dengan penerapan peraturan tentang pemboran dan pemakaian air bawah tanah di DKI Jakarta dalam kaitannya dengan keadaan geografis, keadaan hidrologi, keadaan geohidrologi, kondisi iklim, dampak pengambilan air bawah tanah.
BAB III : Analisis
Dalam bab analisis diuraikan analisa terhadap data dan fakta dari hasil penelitian baik berupa data kepustakaan, data dan fakta di lapangan dipadukan dengan peraturan pemakaian air bawah tanah di DKI Jakarta.
BAB IV : Penutup
Dalam bab penutup disimpulkan mengenai materi yang didapat dari pengujian sesuai dengan permasalahan yang ada, serta saran tentang peraturan pengendalian pengambilan air bawah tanah di Jakarta dan penanggulangannya.
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
A. Keadaan Geografis
Luas Jakarta seluruhnya 650 km² meliputi lima wilayah ibukota, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat termasuk wilayah Jakarta Kepulauan Seribu.
Secara geografis daerah tersebut kurang lebih terletak pada 1060 22’42” sampai 1060 58’18” Bujur Timur dan 50 19’12” sampai 60 23’42” Lintang Selatan. Wilayah Barat dibatasi oleh Kabupaten Tangerang, selatan dibatasi oleh Kabupaten Bogor, Timur oleh Kabupaten Bekasi. Sedangkan utara dibatasi garis pantai Laut Jawa.
B. Keadaan Hidrologi
Gambaran mengenai air tanah di wilayah DKI Jakarta dapat dipelajari dari laporan Yamamoto (1972), James Montgomery untuk daerah Tangerang dan dari konsultasi Harza maupun konsultan CJC (Coyme et Belier & Sogreah, 1979). Peneliti lainnya yang bersangkutan dengan cekurangan air tanah Jakarta, masing-masing dilakukan oleh Marks (1958), Wongsosentono (1962), Koesoemadinata (1963), Untung (1972), Soekardi dan Koesmono (1973), Soekardi dan Purbohadiwidjojo (1975), Hehannusa (1980), Puslitbang Air (1982), juga Soekardi (1982), Puryanto (1982), Fujioka (1982), Dijon (1983), Soejono (1984) dan lainnya yang tidak tercatat.
Yamamoto (1972) membuat klasifikasi yang jelas terhadap lapisan yang ditemukan ke dalam enam lapisan utama yaitu :
Gambar 1.
- Lapisan pasir bagian atas (US) dengan tebal maksimum 50 m pada alasnya terdapat lapisan berkerikil di wilayah Jakarta yang mengandung air.
- Lapisan pasir berlempung bagian atas (UC) berada di bawahnya, dengan tebal maksimum sekitar 40 meter di dekat pantai diduga berasal dari laut (terdapat fosil moluska). Lapisan ini dapat dihubungkan dengan umur Holocene dan Pleistocene atas.
- Lapisan pasir tengah (MS) dengan tebal maksimum mendekati 80 meter berumur Plaistocene Tengah.
- Lapisan berpasir bawah (LS) dengan tebal mendekati 50 m. berumur Pleistocene Bawah, yang menurut Soekardi termasuk pasir kwarsa.
- Lapisan berlempung tengah (MC), tebal 30 – 50 meter.
- Lapisan berlempung bawah (LC) dengan tebal antara 30 – 100 meter.
Lebih jauh dijelaskan bahwa lapisan kwarter terdapat 3 (tiga) akifer utama yang saling berhubungan satu sama lainnya dan pada umumna akifer tersebut dalam kondisi tertekan tanggung pada kedalaman sekitar 300 meter ditemukan lapisan yang mengandung batu pasir yang sebagian lulus air dan berumur Pliocene yang saling berhubungan dengan ketiga akifer utama tersebut.
Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga akifer tersebut yang terdapat dekat pantai berada dibawah paras uka air laut rata-rata. Oleh karena terdapat batas antar muka antara air tawar dan air laut (interface) pada akifer tersebut di daerah dekat pantai. Hasil rekaan dan penafsiran geologi bawah permukaan Jakarta dan sifat kandungan airnya yang dilakukan oleh Soekardi dan Purbohadiwidjojo (1975) juga menjelaskan sebagai berikut :
Alas cekungan artosis Jakarta diperkirakan berupa sedimen yang berumur Miocene atau mungkin bahkan Pliosen yang terdiri dari lempung berwarna hijay sampai abu-abu yang mengandung sisa-sisa kerang dari koral dengan sisipan batu pasir yang bahannya bersifat andesit. Sedimen ini terdapat mulai dari kedalaman sekitar 300 m, yang diatasnya terdapat setumpuk sedimen kwarter setebal 250 – 300 meter, yang terdiri dari perselingan antara lempung, pasir, kerikil hingga kerakal, dengan bertukar-tukar antara darat dan laut. Dari bahan fragmennya yang terdiri dari andesit dan butir-butir kwarsa dapat diduga bahwa sumbernya berganti-ganti tempatnya, yaitu yang pertama dari selatan sedangkan yang kedua kemungkinan dari utara.
Sebagai lapisan termuda dapat dijumpai pada muka tanah dalam bentuk kipas aluvium bahan gunung api yang menempati bagian selatan, endapan sungai saat ini, pematang pantai serta endapan pantai sekarang. Bentuk cekungan artosis Jakarta tidak simentris.
Batas selatan lebih kurang ialah garis yang menghubungkan Parung di Barat, melalui Depok di Tengah dan terus ke Cikarang di Timur. Batas utara merupakan peralihan ke Paparan Sunda, Gambar 2 dan Gambar 3 memperlihatkan bagan penampang cekungan artosis Jakarta mulai dari Ancol Barat di Utara sampai dengan Sidomukti di Selatan.
Secara garis besar digambarkan bahwa kelompok akifer bebas ditemukan dalam endapan sungai lama yaitu dalam lappisan atas aluvium kipas bahan gunung api di bagian selatan Jakarta dan dalam pematang-pematang pantai yang terdapat di bagian utara. Potensi air tanah dibagian utara sangat terbatas dan hanya dapat dipergunakan untuk mencakupi kebutuhan air sehari-hari bagi penduduk setempat. Di daerah aluvium gunung api akifer bebas umumnya berpotensi besar, lagi pula juga tawar.
Kedudukan muka air tanah umumnya sekitar 5 m dibawah muka tanah, kecuali pada bekas aliran sungai yang muka airnya dapat 1 meter atau bahkan kurang. Air tanah ini berasal dari hujan yang jatuh ditempat-tempat yang bersangkutan dan kemudian meresap ke bawah sampai ke lajur jenuh air.
Gambar 2.
Gambar 3.
Pada air tanah tertekan yaitu dengan kedalaman sekitar 225 meter dapat dibedakan adanya tiga kelompok lapisan pembawa air yang barair tawar dan air dibawahnya yang bermineral.
Kelompok lapisan itu masing-masing mencapai kedalaman hingga 60 meter, 60 – 150 m, 150 – 255 m dan akhirnya lapisan di bawah kedalaman tersebut. Di daerah daratan pantai, air dari lapisan teratas setempat dapat mengalir sendiri keluar (air artosis positip).
Tetapi sebagian arinya payau atau asin. Batas selatan air yang demikian ini kurang lebih ialah garis yang menghubungkan Tanah Abang di Barat dengan Klender di Timur. Di daerah Kipas aluvium mempunyai muka piezometrik air tanah yang dangkal, berkisar antara 3 – 9 m di bawah muka tanah rata-rata. Pada umumnya lapisan tipis pasir berbutir halus sampai kasar atau kerikil yang terdapat dalam lapisan lempung tufa. Di daerah selatan air minumnya berkadar mangan dan besi agak tinggi, yaitud apat melebihi 0.3 miligram setiap liternya.
Kapasitas jenisnya bervariasi antara 50 – 100 liter setiap menit setiap penurunan 1 (satu) meter. Dalam satuan kedua, air umumnya terdapat dalam lensa pasir yang meruakan sisipan. Mutunya lebih baik daripada air satuan yang pertama, meskipun kadar zat organiknya agak tinggi yaitu melebihi 10 gram setiap liter dengan kesadahan yang rendah. Kapasitas jenisnya agak kecil yang berkisar 30 – 75 liter semenit pada setiap penurunan 1 meter.
Pada satuan ketiga, air terdapat dalam lapisan pasir kwarsa. Satuan inilah yang terpenting, dengan mutu air umumnya baik, sedangkan kapasitas jenisnya lebih kurang sama dengan kapasitas jenis kelompok pertama. Kelompok ini setempat-setempat masih menunjukkan muka pizometrik di atas muka laut. Air pada kelompok dibawahnya telah termineralisasi dengan kadar garam melebihi 1.300 gram setiap liternya.
C. Keadaan Geohidrologi
Yamamoto dan Soekardi menjelaskan mengenai sistem air tanah Jakarta dengan merekonstruksi penampang geologi yang diambil dari mulai Jakarta sampai Gunung Pangrango. Berdasarkan penampang tersebut dapat dibedakan adanya 3 (tiga) kelompok akifer berair tawar.
Pertama, akifer bebas dibagian atas, yang menurut Puslitbang Pengairan (1982) hampir meliputi seluruh daerah tampang. Pengisian air tanah disini dapat berasal dari 2 sumber yakni dari infiltrasi air hujan yang meresap dari jaringan sistem air permukaan (sungai, waduk, danau, saluran, empang, sawah teknis, sawah tadah hujan dan sebagainya) dan bocoran air yang menerobos keatas dari sistem akifer di bawahnya (dalam hal muka air tanah akifer di bawahnya lebih tinggi dari muka air tanah bebas).
Akifer tertekan tanggung dibawahnya dapat memperoleh air tanah dari 3 (tiga) sumber yakni :
a. Pengisian air tanah oleh infiltrasi ari hujan dan resapan lain-lain, yakni melalui bagian akifer bebas dari sistem akifer tertekan tanggung tersebut.
b. Bocoran air dari akifer di atasnya (jika kondisinya memungkinkan).
c. Bocoran air dari akifer dibawahnya (jika kondisinya memungkinkan.
Untuk akifer tertekan tanggung yang lebih bawah berlaku pula apa yang telah diuraikan diatas. Pengeluaran air tanahd ari masing-masing akifer tersebut dapat berbentuk :
a. Pengambilna air tanah melalui sumur-sumur
b. Penguapan pada bagian akifer teratas (bebas)
c. Bocoran air keluar dari sistem akifer yang ditinjau (jika kondisi memungkinkan) ke sistem akifer diatas dan di bawahnya.
d. Merembes keluar dalam bentuk mata air atau aliran dasar dari sistem sungai yang ada.
e. Apabila kondisi hidrodinamik memungkinkan dapat terjadi adanya aliran air tanah ke arah laut di dekat pantai.
Untuk mengetahui karakteristik akifer di daerah Jakarta telah dilaksanakan pemompaan uji atas sumur-sumur yang ada. Puslitbang Pengairan pada tahun 1980 telah melaksanakan pemompaan uji sumur-sumur dangkal di wilayah Jakarta tersebut. Puryanto (1981) menyatakan bahwa Tangerang pada lokasi sumur 1 dengan kedalaman 150 meter, harga T yang diperoleh oleh Montgomery adalah 120m²/hari. Untuk sumur di Ciracas, Yamamoto memperoleh harta T sebesar 130 m²/hari pada kedalaman 180-230 meter. Sumur di Senayan memberi harga T sebesar 104 m²/hari pada kedalaman 18 – 36 meter, T = 19 m²/hari untuk kedalaman 84 – 96 meter dan T = 142 m²/hari pada kedalaman 126 – 150 meter (Puslitbang Pengairan, 1980; Gamma Epsilon). Pemompa uji yang dilaksanakan oleh DGTL di daerah Klender menghasilkan T = 250 m²/hari. Secara gabungan untuk sumur di Ciracas, Yamamoto memperoleh harga T = 350 m²/hari dan S = 2 x 10-4. Soekardi (1982) memberikan perhitungan untuk daerah daratan pantai mempunyai T = 200 sampai 250 m²/hari dengan S = 4 x 10-4 dan Q/s antara 0,15 – 0,85 liter/detik/meter.
Untuk daerah kipas aluvium T antara 250 – 350 m²/hari dengan S = 2 x 10-4 dan antara 1.00 – 1,75.
D. Kondisi Iklim
Keadaan iklim suatu wilayah dapat dijadikan indikator dan perkiraan besarnya potensi sumber daya air suatu tempat. Faktor-faktor penting yang menyangkut iklim adalah suhu, kelembaban dan tekanan udara, lama penyinaran matahari, kecepatan angin serta karakteristik curahan hujan.
E. Dampak Pengambilan Air Bawah Tanah
5.1. Penyurutan Paras Air Tanah terdiri dari :
5.1.1. Penyurutan Paras Air Tanah dalam
Akibat pengambilan air tanah dan berkurangnya pengisian air tanah alami, serta peningkatan perubahan air tanah menjadi air permukaan dapat menyebabkan terjadinya penyurutan paras air tanah.
Berdasarkan angka-angka yang diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa besar pemompaan air tanah dalam sudah melampaui kemampuan untuk memasoknya, yakni dimulai sejak kira-kira 1970. Selain itu sebelum tahun 1970, air tawar masih mengalir kearah utara (pada daerah batas studi) dengan debit sebesar 0.041 – 0.057 meter kubik/detik. Sesudah tahun 1970 telah terjadi aliran sebaliknya, yakni air asin mengalir kearah selatan dengan debit sekitar 0.063 m kubik/detik dan inilah yang dimaksud dengan pergerakan penyusupan air laut. Untuk keadaan sesudah tahun 1970 inilah, yang disebut sebagai dimulainya fase penambangan air tanah tawar. Hal ini berlangsung terutama di daerah Jakarta Utara dan Pusat. Terlihat bahwa terdapat dua lokasi yang mempunyai kerucut penyusutan yang besar untuk akifer tertekan yang berada pada kedalaman 20 – 140 m, yakni di daerah Cengkareng dan Tanjung Priok, dengan bagian yang terdalam berada antara 30-40 m dibawah paras air laut. Selain itu dijumpai tiga lokasi daerah penyusutan yang tidak terlalu luas, yakni sekitar Ancol dan Pulogadung, dengan paras yang terdalam berada antara 10 – 30 m (untuk keadaan bulan Oktober – Desember 1987). Hal yang serupa terjadi untuk air tanah dalam yang berada pada kedalaman 140-240 m, yang untuk keadaan bulan Oktober – Desember 1982, mempunyai tiga daerah kerucut penyusutan yang besar, yakni di daerah Cengkareng dan Tanjung Priok, dengan paras yang terdalam berada pada kedalaman 20 – 35m. Selain itu dijumpai satu daerah kerucut penyusutan yang agak lebih kecil, yakni di daerah Pulogadung, dengan paras terdapat sampai 20 m dibawah paras air laut. Perhitungan di atas memberikan angka-angka paras air tanah terhadap paras air laut, tetapi dengan memperhatikan bahwa paras air tanah sebelum terjadinya pengembangan air tanah (kondisi alami mula-mula), mempunyai paras pisometrik sekitar 10-15 m diatas paras air laut (untuk sumur-sumur dalam yang berada di daerah pantai), maka besarnya surutan (drawdown) adalah menjadi sekitar 40 – 50 m dari paras air tanah mula-mula.
5.1.2. Penyurusan Paras Air Tanah dangkal
Akibat pengambilan air tanah dangkal, dibeberapa tempat di wilayah Tangerang, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Selatan terdapat kerucut penyusutan sampai kedalaman 10 meter dari muka air tanah, yakni yang berada di sekitar Tangerang, Cengkareng dan Pulogadung – Cempaka Putih.
Letak paras air tanahnya, bagian yang terdalam berada 25 m dibawah paras air laut. Dengan demikian daerah ini berpotensi untuk mengalami penyusutan air laut dalam jangka panjangnya. Ini juga didukung dengan data bahwa harga DHL ditempat sekitarnya berkisar pada angka 150 pmhos/cm.
5.2. Penyusupan Air Asin, Amblasan Tanah dan Pencemaran
5.2.1. Penyusupan Air Asin
Terjadinya penyusupan air asin, adalah diakibatkan oleh pengambilan air tanah dan terdapatnya perbedaan antara berat jenis air tawar dengan air laut. Jika pengambilan tidak terlalu besar, maka penyusupan yang berlangsung akan berhenti disuatu tempat, sedangk jika pengambilan berlebihan, penyusupan terus berlangsung sampai pada batas daerah yang dasar akifernya berada diatas paras laut.
Dari kedua konsultan terdahulu terdapat kesatuan pendapat bahwa memang penyedotan air tanah Jakarta dalam jalur A dan B telah melebihi kemampuan pemasokannya, meskipun angka yang disajikan agak berbeda. Ini bisa dimengerti sebab air tanah tidak dapat dilihat langsung dan besaran-besaran penentu hanya bisa ditaksir saja. Lagipula kedua model tersebut berbeda dalam pengambilan anggapan dan punya keterbatasan sendiri-sendiri.
Untuk membandingkan secara teliti, tentu perlu penumpang tindihkan daerah cakupannya dan membandingkan besaran-besaran dan data yang dipakai.
Penyusupan air asin yang terjadi menurut konsultan pertama, mempunyai kecepatan kira-kira 3 – 50 meter per tahun, tetapi sayang pembuktiannya belum disajikan. Sebagai perbandingan untuk sistem air tanah Bangkok, penyusupan terjadi dengan kecepatan 50m / tahun
Konsekwensi dari penyusupan air asin adalah berkurangnya daerah pemasokan air tawar di sekitar daerah pantai dan terus meluas mengikuti kecepatan penyusupan tersebut. Air tanah menjadi asin dan tidak dapat digunakan lagi untuk air minum. Selain itu konstruksi-konstruksi bangunan, pipa-pipa dan bangunan bawah tanah yang dibuat dari bahan besi mudah terserang korosi/karatan dan dapat mengganggu dan merusak fungsi dari bangunan tersebut.
Batas air tawar dan asin tidaklah tegas, melainkan merupakan daerah transisi. Untuk patokan kriteria/tingkat keasinan air tanah Jakarta, telah disusun suatu tabel mengenai hal ini oleh instansi-instansi yang melaksanakan penelitian mengenai air tanah Jakarta. Dengan tabel itu diharapkan terdapat keseragaman mengenai kriteria dari tingkat keasinan yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik atau DHL (dalam umhos/cm), kandungan klorida atau Cl (dalam miligram/liter) dan kandungan zat padat terlarut atau ZPT (dalam miligram/liter).
Masyrakat luas dapat memakai tabel tersebut untuk memeriksa apakah air sumurnya masih berair tawar ataukah payau atau asin, dengan tidak bersandar melalui rasa pada lidah, karena kepekaan masing-masing orang berbeda.
Penyusun kriteria ini antara lain : P3 Geoteknologi LIPI, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Perusahaan Air Minum dan Bappeda DKI Jakarta.
Perlu ditambahkan bahwa meningkatnya harga DHL, kandungan khlorida dan ZPT dapat disebabkan oleh polusi atau pencemaran terhadap air tanah. Oleh karenanya perlu juga diteliti apakah pada suatu tempat kenaikan yang menyangkut hal itu, disebabkan oleh intrusi air asin ataukah oleh polusi/ pencemaran terhadpa air tanah.
Penyusupan air asin pada air tanah dangkal terjadi di daerah Utara dan Tengah Jakarta, yang telah mengalami penyusupan air laut sejauh 5 – 6 km dari daerah pantai.
Pengambilan kesimpulan bahwa penyusupan air laut telah terjadi pada jarak 13 km dari garis pantai pada saat ini, perlu dikoreksi. Penyusupan air laut ini akan terus bergerak menjauh dari garis pantai selama pemompaan melebihi kemampuan untuk pemasokannya di tempat-tempat yang terdekat dengan daerah batas air tawar dengan air asin. Patutlah diketahui bahwa meskipun pemompaan tidak melebihi pemasokannya, penyusupan air laut akan tetap terjadi, hanya saja akhirnya berhenti tetap di suatu tempat tertentu, jika tercapai keadaan langgeng (steady state).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Konsultan Jerman & DGTL, menunjukkan secara tegak temapt-tempat yang mengalami penyusupan air asin. Data terakhir ini sangat membantu untuk analisis dan evaluasi mengenai model penyusupan air pada waktu kemudian hari, untuk cekungan air tanah Jakarta. Penyusupan air asin yang terjadi terhadap air tanah dalam, yakni pada lapisan pembawa air kedua (kedalaman 60 – 100 meter) diperkirakan berada pada jarak 2 – 3 km dari garis pantai.
5.2.2. Amblasnya Tanah
amblasnya tanah (land subsidence) adalah peristiwa turunnya permukaan tanah akibat keluarnya air tanah dari lapisan yang mampu mampat. Keluarnya air pada lapisan ini dapat diakibatkan oleh pemompaan air tanah pada akifer yang berada dibawah lapisan mapu mampat tersebut. Pada akifer sendiri terutama yang terdiri dari pasri atau kerikil, sifat mampu mampat ini tidaklah terlalu berarti. Oleh karena itu lapisan yang mengandung lempung (clay) adalah lapisan yang mempunyai potensi mampu mampat yang besar, terutama sekai jika ditemukan dengan lapisan yang cukup tebal dan berada diatas akifer yang dimaksud. Setiap penyurutan muka air tanah pada akifer akan berpengaruh pada sifat keluarnya air dari lapisan ini. Dengan demikian besarnya amblasan ini tergantung pada :
- besar surutnya paras air tanah
- besar kemampatan lapisan
- ketebalan lapisan mampu mampat tersebut.
Di daerah Jakarta Utara telah disebutkan terjadinya penyurutan paras air tanah sebesar 20 meter akibat dari pemompaan yang berlebihan. Penyurutan muka air tanah di beberapa tempat mencapai 2 – 3 meter per tahun, yang mana penyurutan yang cepat terjadi sejak tahun 1970. Sukardi (1983) mesinyalir bahwa ambruknya jembatan antara dua bangunan pada kompleks pertokoan Sarinah, mungkin dapat disebabkan oleh amblasan ini.
Beberapa kejadian yang bersifat lokal juga terjadi pada beberapa bangunan di sepanjang Jl. Thamrin ini. Terjadinya banjir beberapa tahun yang lalu di tempat-tempat sepanjang jalan ini, memperkuat hal ini. Menurut pendapat konsultan, adalah sangat sulit menetapkan apakah amblasan ini karena keluarnya air dari lapisan mampu mampat yang disebabkan oleh pemompaan air tanah yang berlebihan ataukah oleh akibat beban bangunan. Jika hal yang terakhir ini terjadi, yang dikenal dengan ilmu mekanika tanah dengan istilah konsolidasi, tentunya telah diperhitungkan pada waktu perencanaan dan pelaksanaan. Biasanya juga dapat diperkirakan besarnya penurunan tanah (subsidence) ini dengan waktu/lama terjadinya proses ini. Dengan demikian masih sulit menetapkan apakah amblasan tanah yang terjadi sudah cukup besar hingga membahayakan bangunan-bangunan di sekitar tempat yang dimaksud. Dijon (1983) mencoba memberikan gambaran kemungkinan besarnya amblasan di daerah Jakarta dengan membandingkan dengan kondisi di tempat-tempat lain di dunia.
Amblasan di daerah Bangkok yang banyak merusak bangunan, dikenal mempunyai lapisan lempung yang mampu mampatnya tinggi dan cukup tebal. Hal ini agak sedikit berbeda dengan lempung yang ditemukan di Jakarta. Hanya saja secar alokal dapat ditemukan lapisan lempung yag daya mampu mampatnya cukup tinggi, tetapi tidak bersifat regional. Mungkin saja amblasan yang terjadi di Jakarta mempunyai keadaan sebagai berikut :
· Telah lama terjadi sebelum bangunan-bangunan yang baru tersebut dibangun (jadi pemompaan telah terjadi sebelum bangunan tersebut berdiri).
· Amblasan terjadi secara regional terbatas dan merata, sehingga amblasan tersebut (meskipun bisa besar) tidak membahayakan.
· Lempung yang ditemukan mungkin merupakan lempung yang sudah termampatkan dengan baik, atau bukan merupakan lempung murni (masih disisipi pasir halus).
· Lempung ini bukan merupakan lempung endapan lautan atau lempung gambut aluvial atau yang mengandung bahan organik yang tinggi.
· Lempungnya tipis yang diselang seling dengan lapisan pasir halus.
Sampai saat ini belum ada pengukuran muka tanah yang terinci dan teratur yang bersifat menurut deret waktu, sehingga menetapkan apakah amblasan yang terjadi cukup besar atau tidak, tidaklah dapat ditetapkan. Tambahan pula instrumen pengukur besarnya amblasan yang cukup canggih belum dipasang pada tempat-tempat sumur pengamat berada. Yang dipunyai adalah pencatatan yang bersifat kasar sehingga tidak dapat menunjukkan besarnya amblasan yang teliti. Tambahan pula alat tersebut dipasang setelah pemompaan air tanah yang cukup besar telah terjadi, sehingga hanya amblasan sisanya saja yang akan dicatat. Berdasarkan keterangan diatas maka lebih sulit lagi untuk memperoleh besar amblasan sisanya, karena kecilnya angka yang harus dicatat.
Selama studi air tanah penaksiran resiko amblasan akan didasarkan identifikasi geologi. Jika dapat diperkirakan bahwa memang ada potensi bahaya terhadap bangunan-bangunan, sistem drainase, jaringan pipa bawah tanah, struktur-struktur bawah bangunan, maka barulah diadakan penelitian log geologi dengan mengambil contoh-contoh tanah yang asli. Contoh-contoh tersebut harus dianalisa dalam laboratorium untuk menentukan besarnya sifat mampu mampatnya yang diistilahkan dengan compressibility. Jika datanya cukup banyak terdistribusi merata secara meruang, data tersebut dapat dimasukkan dalam model amblasan tanah yang biasanya digabungkan denga nmodel aliran air tanah.
5.3. Pencemaran dan Polusi
Hasil pengkajian kualitas air oleh Pusat Litbang Pengairan menunjukkan bahwa di beberapa tempat air tanah dangkal, telah dicemari oleh limbah rumah tangga, dengan terdapatnya bakteri koli tinja dan detergen. Demikian pula berbagai limbah industri juga ikut mencemari air tanah dangkal, karena memang air tanah dangkal paling peka terhadap pencemaran. Tingkat pencemaran ini sudah sampai pada tingkat polusi ditinjau dari segi penggunaan air minum, yakni yang menyangkut kadar detergen. Air sumur dalampun dibeberapa tempat, mengandung kadar nitrat yang sudah lebih besar dari 5 mg/l. Untuk pengkajian mengenai kualitas air yang meliputi banyak unsur sangatlah mahal. Maka biasanya peneliti hanya berkaitan dengan beberapa unsur saja. Untuk jangka panjangnya perlu diadakan analisa laboratorium yang lengkap menurut periode tertentu dan terdistribusi secara merata ke seluruh DKI Jakarta. Dengan berkembang pesatnya industri, ekonomi, perkembangan pemukiman dan pertambahan penduduk, dimasa depan diperkirakan bahwa polusi yang bersifat regional akan menjadi masalah utama dalam waktu yang tidak terlalu lama.
BAB III
ANALISIS
A. Pengaturan Pengambilan Air Bawah Tanah di DKI Jakarta
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 03/P/M/Pertamben/83 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 tahun 1994 tentang Pemboran dan Pemakaian Air Bawah Tanah di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kedua aturan ini dipakai sebagai acuan mengenai pengaturan pengambilan air bawah tanah. Untuk pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 42 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tentunya juga aturan yang tingkatannya lebih tinggi dari Peraturan Menteri dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan air bawah tanah. Pemakaian air bawah tanah yang dilakukan dengan cara pemboran dan penggalian sumur bor adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara pengeboran dengan kedalaman lebih dari 40 meter dengan pipa bergaris tengah 4 Inchi (± 10 Cm) atau lebih. Menurut Perda Nomor 2 Tahun 1994 setiap pemakaian sumur bor harus dilaksanakan setelah mendapat izin Gubernur Kepala Daerah, izin pengeboran air bawah tanah Jakarta dikeluarkan berdasarkan saran teknis yang bersifat mengikat dari Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan. Direktorat Jenjeral Geologi dan Tata Lingkungan adalah sebagai pelaksana yang diberi limpahan wewenang dan tanggung jawab Menteri Pertambangan dan Energi.
Izin pemakaian air bawah tanah tidak diperlukan untuk :
a. Keperluan air minum dan keperluan rumah tangga
b. Keperluan penelitian dan atau penyelidikan yang dilakukan oleh instansi/lembaga pemerintah atau swasata yang telah mendapatkan pengakuan Pemerintah dengan memberikan laporan penelitian dan atau penyelidikan kepada Gubernur Kepala Daerah.
Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk di dalamnya mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.
Prioritas Peruntukan Air Tanah (Permen P dan E No. 02.P/101/ M.PE/1994 Pasal 5):
1. Air Bawah Tanah untuk keperluan air minum tetap merupakan prioritas utama di atas segala keperluan.
2. Urutan prioritas peruntukan air bawah tanah adalah sebagai berikut :
a. Air minum
b. Air untuk rumah tangga
c. Air untuk industri
d. Air untuk peternakan dan pertanian sederhana
e. Air untuk irigasi
f. Air untuk pertambangan
g. Air untuk usaha perkotaan
h. Air untuk usaha lainnya
Izin pengambilan air bawah tanah dan air mata air diberikanoleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I sesuai dengan tata cara yang akan ditentukan oleh Direktur Jenderal cq. Direktur Direktorat Geologi Tata Lingkungan.
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I hanya mengeluarkan izin setelah mendapat saran teknik yang mengikat dari Direktur Direktorat Geologi Tata Lingkungan.
Data pengambilan air bawah tanah tersebut wajib disampaikan kepada Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Kegiatan pengeboran air bawah tanah diklasifikasikan atas 2 :
1. Setiap kegiatan pemboran air bawah tanah untuk keperluan air minum, rumah tangga, industri, peternakan, pertanian, irigasi, pertambangan, usaha perkotaan, dewatering dan untuk kepentingan lainnya, hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin pemboran air bawah tanah dari Kepala Dinas Pertambangan.
2. Pemboran air bawah tanah untuk kepentingan lainnya sebagaimana dimaksud antara lain :
a. pemboran air bawah tanah untuk real estate, hotel estate, hotel, perkantoran, apartemen, kondominium.
b. pemboran air bawah tanah untuk usaha komersial lainnya.
Izin pemboran air bawah tanah tidak dipindahtangankan kepada pihak lain dengan cara dan atau dalam bentuk apapun tanpa persetujuan tertulis dari Kepala Dinas Pertambangan.
Izin pemboran tidak diperlakukan untuk pengambilan air bawah tanah dengan Sumur Pantek (Sumur dengan kedalaman kurang dari 40 meter). Izin pemboran berlaku selama 3 bulan dan dapat diperpanjang atas permohonan pemegang izin. Permohonan perpanjangan izin pemakaian air bawah tanah harus diajukan secara tertulis kepada Gubernur Kepala Daerah selambat-lambatnya 3 bulan sebelum jangka waktu pemakaian air bawah tanah berakhir.
Izin pemboran air bawah tanah dicabut apabila :
a. tidak melakukan kegiatan selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak izin dikeluarkan,
b. pemegang tidak memenuhi/menaati ketentuan yang telah ditetapkan dalam surat izin,
c. bertentangan dengan kepentingan umum dan atau mengganggu keseimbangan air atau menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
Izin pemakaian air bawah tanah dicabut apabila :
a. Pemegang izin tidak memenuhi/mentaati ketentuan yang telah ditetapkan dalam surat izin,
b. Kualitas air tidak memenuhi persyaratan,
c. bertentangan dengan kepentingan umum dan atau mengganggu keseimbangan air atau menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup,
d. atas dasar permintaan pelanggan sendiri.
Mengenai izin juga dibedakan dalam :
1. Izin Pemboran Air Bawah Tanah
2. Izin Usaha Perusahaan Pemboran Air Bawah Tanah
Syarat-syarat Izin Pemboran Air Bawah Tanah :
a. fotokopi KTP pemohon untuk perorangan atau pimpinan/ penanggungjawab perusahaan untuk badan usaha,
b. peta lokasi sumur dan lokasi sumur yang telah ada dilengkapi dengan gambar pensil dengan skala detail/ besar 1 : 1.000,
c. peta situasi dengan skala 1 : 10.000,
d. fotokopi IMB/Blok Plan,
e. fotokopi SIPPAT dari Dinas Pertambangan,
f. studi kelayakan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk rencana pengambilan air bawah tanah dengan luah/debit air lebih dari 50 liter/detik atau UKL/UPL untuk rencana pengambilan air bawah tanah dengan luah/debit kurang dari 50 liter/detik,
g. fotokopi rekening PAM Jaya atau surat permohonan penyambungan PDAM apabila di dalam jaringan PAM Jaya,
h. pernyataan pemanfaatan air bawah tanah untuk cadangan apabila ada jaringan PAM Jaya,
i. membuat rincian rencana kebutuhan pemakaian air bersih (neraca air),
j. fotokopi surat keterangan dari Kepala Dinas Pertambangan yang menerangkan bahwa kontraktor/ pelaksana pemboran air bawah tanah dapat melaksanakan kegiatan pemboran di Propinsi DKI Jakarta.
Pemegang izin pemakaian sumur bor dilarang :
a. merusak, melepas, menghilangkan, membalik arah meter, serta merusak segel pabrik dan segel Dinas Pertambangan,
b. menyadap air bawah tanah dari pipa sebelum meter air,
c. mengubah ukuran pipa luah air,
d. menimbun meter air,
e. memindahkan letak meter air,
f. melakukan pemboran terlebih dahulu sebelum surat izin bor diterbitkan,
g. menggunakan air bawah tanah untuk usaha tanpa izin,
h. memindahkan letak titik sumur bor tanpa izin.
Bagi mereka yang melanggar dapat dikenakan sanksi :
a. Sanksi Pidana
b. Sanksi Administrasi dan Ganti Rugi
Bagi mereka yang ingin memperoleh Izin Usaha Perusahaan Pemboran air bawah tanah harus mendapat SIPPAT dari Kepala Dinas Pertambangan. SIPPAT sebagaimana dimaksud tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain dengan cara dan atau dalam bentuk apapun tanpa persetujuan tertulis dari Kepala Dinas Pertambangan. Untuk mendapatkan SIPPAT harus mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur, dalam hal ini Kepala Dinas Pertambangan dengan melampirkan syarat-syarat :
a. fotokopi KTP pimpinan/penanggung jawab perusahaan,
b. fotokopi akta pendirian perusahaan,
c. fotokopi NPWP,
d. fotokopi Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi,
e. fotokopi Tanda Daftar Perusahaan,
f. fotokopi Sertifikasi, klasifikasi dan kualifikasi dari assosiasi pemboran air bawah tanah yang telah mendapat registrasi dari lembaga pengembangan jasa konstruksi,
g. berita acara penelitian fisik alat-alat bor yang dilengkapi foto alat bor.
Atas izin pemboran dan pemakaian air bawah tanah dikenakan retribusi
B. Penanggulangan Dampak Pemakaian Air Bawah Tanah
1. Pengaktifan Situ-Situ
Pengadaan air untuk berbagai keperluan umumnya bersumber dari air permukaan sungai atau danau dan dari air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Untuk mengatasi rusaknya mutu air permukaan atau air tanah dalam perlu dibuatkan situ dan juga berperan penting bagi penyediaan air untuk berbagai keperluan di daerah sekitarnya. Oleh karena itu keberadaan situ-situ di sekitar Jakarta berperan penting dalam mengurangi dampak kerusakan air tanah.
2. Daur Hidrologi
Air tanah dan air permukaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses daur hidrologi, dengan demikian air tanah dan air permukaan termasuk dari bagian atau unsur dari neraca air (water balance), yang mana menunjukkan selain jumlahnya yang terbatas, juga terdapat interaksi antara unsur-unsur dari neraca air itu sendiri. Setiap perubahan dari salah satu unsur mempengaruhi unsur-unsur yang lainnya. Oleh karena itu setiap pemanfaatan air tanah dan air permukaan yang berlebihan, dan tidak diatur dengan pengelolaan yang tepat pula, dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Khususnya untuk air tanah pola pemanfaatan air tanah hendaknya dipilih dengan mempertimbangkan seberapa jauh efek-efek yang tak dikehendaki ini akan terjadi. Dengan menetapkan kriteria atau tingkat kerugian yang dapat diterima, dapat dipilih pola pemanfaatan air tanah yang sesuai dan terbaik. Dengan pola pemanfaatan air tanah harus diperhatikan daur hidrologi dan lingkungan hidup, unsur-unsur yang dikehendaki ataupun yang merugikan, hanya dapat diterima sampai tingkat tertentu saja. Kriteria dan batas ini ditentukan oleh kita sendiri. Dengan demikian sejauh mana resiko yang akan terjadi daat kita terima, telah diketahui terlebih dahulu dan kita tetapkan.
3. Resapan Buatan (artificial recharge)
Secara sederhana, terutama yang menyangkut pengembangan pemukiman penduduk (tidak diikutsertakan di sini yang menyangkut pengembangan industri dan semacamnya), jumlah air yang tersedia dari hujan (untuk kota Jakarta terendah adalah 1900 mili meter per tahun) jika dapat ditampung, dapatlah memenuhi kebutuhan penduduk akan air. Ini jika diperhitungkan bahwa setiap penduduk memerlukan air sebanyak 70 liter per hari. Akan dicoba suatu perhitungan jika sebuah rumah dengan penghuni 5 orang, yang menempati rumah dengan atap 70 meter persegi, hujan yang jatuh di atasnya dapat diresapkan melalui sumur gali sebagai sumur resapan. Jika muka air sumur letaknya lebih dalam dari 1,5 meter dari muka tanah maka evaporasi atau penguapan dari muka air tanah melewati muka tanah, dapatlah diabaikan. Hanya sejumlah tanaman tertentu saja yang mengambil air tanah yang cukup dalam untuk berevapotranspirasi, tetapi perhitungan ini dapat diperluas sampai bagian tanah terbuka yang diresapi air hujan seperti biasanya untuk kompensasi peniadaan pengaruh pohon-pohon ini. Jumlah air yang dapat diresapkan adalah: 70 m2 x 1900 mm/tahun = 133000 liter/ tahun. Untuk tiap orang tersedia air = 133000/(5x365) = 72,8 liter / hari.
Dari angka di atas terlihat bahwa jika kebutuhan air besarnya 70 liter per hari per orang, maka dengan mudah dapat dipenuhi oleh air yang berasal dari hujan yang dimasukkan ke dalam sumur gali. Teknik ini dikenal dengan resapan buatah (artificial recharge). Kalau teknik demikian dapat diterapkan secara masal, efeknya sangat menguntungkan bagi daerah pemukiman untuk berswasembada untuk pengadaan air bagi dirinya sendiri dan masyarakat lingkungannya. Tidaklah dapat dipungkiri bahwa resapan buatan secara masal, jauh lebih efektif dibandingkan dengan mengandalkan resapan alami atau metoda resapan lainnya. Satu kelemahan dari resapan buatan adalah bahwa ia hanya dapat diterapkan dalam daerah pemukiman, dengan mengandalkan atap-atap bangunan dan sumur-sumur resapan. Fungsi manusia untuk berpartisipasi harus bisa diandalkan.
4. Pengaturan Kembali Tata Ruang Dari Daerah Jabotabek
Kendala dipandang dari sudut lingkungan, juga memaksa perlunya suatu tindakan untuk mengatasi akibat-akibat yang tak dikehendaki dari pemanfaatan sumber-sumber alam pada umumnya dan pemanfaatan air tanah pada khususnya. Kendala ekonomis dari pemanfaatan air tanah, akibat dari turunnya muka air tanah yang dalam, yakni yang menuntut biaya tinggi untuk pemanfaatannya, meskipun ditanggung sebagian besar oleh pemakai, tetap tidak terlepas dalam konteks keseluruhannya. Demikian pula halnya dengan akibat penyusupan air asin, yang walau akhirnya ditanggung akibatnya oleh para pemakai. Kendala alami, seperti misalnya hujan, evapotranspirasi ataupun aliran sungai dalam kaitannya dengan aliran air tanah merupakan unsur-unsur dari siklus hidrologi, demikian pula dengan neraca airnya. Ini berarti setiap perubahan dari masing-masing unsur akan mempengaruhi unsur-unsur lainnya, demikian pula dengan pemanfaatan airnya. Dari aspek-aspek yang telah disebutkan di atas, masalah pokok satu penanganan daerah resapan merupakan salah satu usaha untuk mengoptimasi pemanfaatan air tanah di wilayah ini, dalam rangka menjaga atau mengkonservasi tata air tanah maupun air permukaan.
5. Pembangunan Waduk
Pembangunan waduk-waduk yang masih mungkin dilaksanakan dalam wilayah ini, baik untuk tujuan pengendalian banjir maupun untuk mengatur tata air tanah di daerah sekitarnya.
6. Metoda Injeksi
Metoda injeksi pada prinsipnya adalah metoda memasukkan air ke dalam lapisan akifer dengan cara dipompa. Untuk akifer dalam cara inilah yang paling sesuai, tetapi mempunyai kerugian maupun keuntungan tersendiri.
7. Pengaturan dan pengurangan pemompaan air tanah dangkal dan dalam
Tempat-tempat mana yang akan dikenai pengurangan pengambilan air tanah haruslah tepat, agar diperoleh manfaat yang semaksimal mungkin. Ini sebaiknya dilakukan untuk air tanah dalam dan dangkal, dengan pengaturan secara terpisah.
8. Memompa Air Asin
Memompa air asin memang memboroskan energi, tetapi dapat dikaitkan dengan keperluan lain yang sama-sama memerlukan energi. Dengan memompa air asin keluar, diharapkan batas air tawar dan air asin tercegah bergerak ke arah daratan. Bahkan jika memang pemompaan berlangsung secara masal, bersama tindakan-tindakan lain yang telah diuraikan di atas, bukan mustahil batas ini kembali bergerak ke arah garis pantai. Tetapi pengambilan air asin ini, demikian juga halnya dengan pengurangan debit pemompaan air tawar, haruslah mengikuti pola tertentu. Hanya saja efeknya baru terasa dalam jangka yang agak panjang, karena gerakannya yang cukup lambat.
9. Memperbanyak jaringan Perusahan Air Minum.
Dengan kita memakai air PAM berarti kita mengurangi pemakaian air bawah tanah, karena bahan dari ari PAM adalah air permukaan (air sungai atau waduk).
10. Tindakan Pendukung
Hal ini dijalankan dengan mengeluarkan Peraturan Daerah yang mewajibkan misalnya setiap pembangunan rumah, hotel, pabrik, pertokoan dll. harus membuat bangunan resapan buatan.
C. Usaha Yang Dilakukan Pemda Dalam Pengendalian dan Pengawasan Pengambilan Air Bawah Tanah.
Pengendalian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Setiap permohonan pengambilan air bawah tanah dan mata air harus dilampiri dengan penyajian informasi lingkungan atau PIL dari daerah yang dimohon.
b. Rencana pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 liter per depit atau cara pembuatan lebih dari 5 buah sumur untuk daerah seluas kurang dari 10 hektar, wajib dilengkapi dengan studi kelayakan dan analisa dampak lingkungan atau ANDAL termasuk dalam pencegahan dalam penanggulangan gangguan lingkungan hidup yang mungkin timbul. Setiap pengambilan air bawah tanah dan mata air yang telah mendapat izin wajib dilengkapi dengan meteran air.
Untuk setiap pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 liter per detik sebagaimana dimaksud di atas diwajibkan menyediakan satu sumur bor khusus untuk memonitor perubahan lingkungan sebagai akibat pengambilan air bawah tanah di daerah sekitarnya. Direktur dan kepala kantor wilayah dapat menyarankan penangguhan dan atau pencabutan izin pengambilan air bawah tanah atau mata air apabila mengganggu keseimbangan air bawah tanah atau menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Pengawasan dilakukan oleh Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Direktoran Geologi Tata Lingkungan dan Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi setempat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah.
Tahapan-tahapan di atas jelas menunjukkan bahwa asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian telah dijabarkan dalam Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur. Hal ini berdampak positip karena menurut peraturan jika masih ada air PAM, maka yang didahulukan adalah air PAM bukan izin pengeboran air bawah tanah. Artinya air bawah tanah dijadikan sebagai alternatif terakhir jika tidak terpenuhi oleh air PAM.
Dari data yang ada, pada tahun 1997, cakupan PAM JAYA adalah sekitar 47% yang meliputi sekitar 460.000 sambungan pelanggan, sementara itu total air terjual mencapai 201 juta M3. Di tahun 2002, cakupan pelayanan telah meningkat menjadi 54 % dengan jumlah konsumen sekitar 610.000, yang 80% diantaranya merupakan sambungan rumah tangga. Peningkatan jumlah pelanggan air PAM dengan melebarnya jaringan PAM berakibat turunnya pemakaian air bawah tanah sebagai contoh pemakaian air bawah tanah tahun 1993 adalah 33.208.154 M3; tahun 1994 = 35.893.037 M3; tahun 1995 = 29.622.238 M3; tahun 1996 = 26.333.157 M3. Dari turunnya pemakaian air bawah tanah di atas dan dari naiknya pelanggan air PAM membuktikan bahwa Peraturan mengenai Pemboran Air Bawah Tanah dan Pemakaian Air Bawah Tanah mencapai sasarannya. Artinya air bawah tanah dipakai sehemat mungkin, yang diutamakan adalah air permukaan/ air PAM.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Bahwa penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 1994 tentang Pemboran dan Pemakaian Air Bawah Tanah di Wilayah DKI Jakarta mencapai sasarannya dalam arti menghemat debit air bawah tanah demi generasi penerus.
Bahwa dampak pengambilan air bawah tanah seperti penyusupan air asin, amblasan tanah dan pencemaran dapat ditanggulangi dengan : pengaktifan situ, daur hidrologi, resapan buatan, pengaturan kembali tata ruang, pembangunan waduk, metoda injeksi, pengaturan pengurangan pemompaan air dangkal dan dalam, memompa air asin, memperbanyak jaringan PAM dan tindakan pendukung.
Bahwa usaha yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam hal pengendalian dan pengawasan pengambilan air bawah tanah berjalan cukup optimal, hal ini terbukti dengan berkurangnya pemakaian air bawah tanah dari tahun ke tahun.
SARAN
Kepada pemakai air tanah dangkal maupun dalam sebaiknya memakai dengan hemat agar kesinambungan air bersih tetap terjaga dari generasi ke generasi.
Hendaknya dipraktekkan semboyan “Siapa yang memerlukan dan mengambil air tanah haruslah menyumbang dengan memasukkan air hujan ke dalam tanah.” Artinya diharapkan kepada semua anggota masyarakat memperluas resapan air di lingkungannya.